28 September 2011

Sumber [eramuslim.com]AS dan Eropa sudah gagal menerapkan kebijakan ekonominya dan rakyat yang harus menanggung akibatnya. Demikian pernyataan Dr. Paul Craig Robert dalam analisa yang ditulisnya di Global Research tentang memburuknya perekonomian di AS dan Eropa,
Robert bahkan menyindir para pengambil kebijakan di AS dan di Eropa, yang menurutnya hanya berupaya menyelamatkan orang-orang kaya dari krisis ekonomi, meski harus mengorbankan kondisi perekonomian negara.
Dalam analisanya, Robert menyebutkan tiga alasa kegagalan kebijakan ekonomi di AS dan Eropa. Pertama,
para pembuat kebijakan hanya fokus pada bagaimana agar perusahaan-perusahaan di luar negeri bisa memindahkan pekerjaan-pekerjaan kelas menengah serta permintaan konsumen, basis pajak, Produk Domestik Bruto dan karis terkait dengan jenis pekerjaan, ke negara-negara seperti China dan India, dimana upah buruk masih sangat murah.
Kedua, para pembuat kebijakan mengizinkan deregulasi keuangan yang memberikan kelonggaran pada tindak penggelapan uang dan pemanfaatan utang dengan skala yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Ketiga, para pembuat kebijakan merespon dampak dari krisis finansial ini dengan memberlakukan penghematan terhadap hal-hal yang merupakan kebutuhan bagi penduduk dan menjalankan perusahaan percetakan untuk menyelamatkan bank-bank dan mencegah kerugian yang lebih besar bank-bank tersebut, tanpa mempedulikan biaya yang dibebankan pada perekonomian nasional dan kelompok masyarakat tak berdosa.
Membuka lapangan kerja di negara lain dimungkinkan setelah runtuhnya Uni Sovyet, dan India serta China mulai membukan akses luas bagi kebutuhan akan tenaga buruh yang kemudian dieskploitasi oleh Barat. Tekanan di Wall Street akan tuntutan profit yang tinggi, membuat perusahaan-perusahaan AS merelokasi pabrik-pabriknya di luar negeri. Buruh-buruh asing yang bekerja untuk kepentingan modal Barat, dengan teknologi, ketrampilan bisnis, harus seproduktif para buruh di AS.
Di sisi lain, berlebihnya suplai buruh (dengan standar hidup yang lebih rendah) itu artinya, buruh di India dan Cina bisa dibayar lebih rendah dibandingkan kontribusi produk yang mereka hasilkan. Keuntungan mengalir ke arah yang berbeda. Keuntungan hanya mengalir ke para pemegang modal dan ke para eksekutif perusahaan dalam bentuk bonus.
Laporan Manufacturing and Technology News edisi 20 September 2011 tentang Sensus Triwulanan tentang Gaji dan Pekerja menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, AS menutup sekira 54. 621 pabriknya, dan jumlah pekerja yang bekerja di pabrik mereka turun sebesar 5 juta orang. Selama lebih dari satu dekade, sejumlah perusahaan yang lebih besar (yang mempekerjakan lebih dari 1.000 orang) menurun jumlahnya hingga 40 persen. Jumlah pabrik AS yang mempekerjakan 500-1.000 orang turun hingga 44 persen, perusahaan yang pekerjanya antara 250-500 orang jumlahnya turun sekira 57 persen dan perusahaan dengan pekerja 100-250 orang, jumlahnya menurun sekira 30 persen. Perusahaan-perusahaan yang bankrut itu, sebagian karena gagal menjalankan bisnisnya.
Sejumlah politisi di AS menyalahkan kolapsnya sektor manufaktur AS pada persaingan yang dilakukan para pengusaha Cina dan menuding telah terjadi praktek-praktek perdagangan yang curang. Meski faktanya, perusahaan-perusahaan AS-lah yang merelokasi pabrik-pabriknya ke luar negeri, yang artinya mengganti produksi dalam negeri dengan mengimpor barang. Setengah dari impor AS berasal dari Cina, yang terdiri dari produk-produk pabrik AS di luar negeri.
Masalah standar gaji juga menjadi substansial. Laporan Biro Statistik AS tahun 2009 menunjukkan bahwa upah bersih pekerja per-jam di AS adalah 23,3 USD, pengeluaran untuk asuransi sebesar 7, 90 USD untuk kompensasi per jam, sehingga total kompensasi yang dikelurakan perusahaan untuk pegawainya sekira 33, 53 USD. Sedangkan di Cina, total biaya buruh per-jam cuma 1,36 USD, dan di India cuma beberapa sen saja. Sehingga perusahaan yang memindahkan pabriknya ke China dengan jumlah pekerja 1.000 orang, bisa menghemat sekitar 32.000 USD per-jam untuk biaya buruh. Penghematan itu dijewantahkan dalam harga produk yang tinggi dan kompensasi untuk para eksekutif perusahaannya, bukan untuk pada harga produk yang seharusnya lebih murah bagi konsumen yang sejatinya tetap menjadi pengangguran tak kentara.
Para ekonom dari kelompok Republikan menuding "tingginya gaji di AS" yang memicu tingginya tingkat pengangguran di negeri itu saat ini. Sekarang tingkat gaji di AS menjadi yang terendah di antara negara-negara maju lainnya, seperti Norwegia, Denmark, Belgia, Austria dan Jerman.
Sementara di Eropa, menurut Robert yang juga asisten Kementerian Keuangan untuk Kebijakan Ekonomi dan editor di Wall Street Journal ini, krisis ekonomi disebabkan karena bank-bank di Eropa yang terlilit krisis finansial karena tanpa mereka sadari, selama ini membeli instrumen-instrumen finansial sampah yang dijual di Wall Street.
Eropa mencoba memberikan dana talangan, yang uangnya juga didapat dari pinjaman Federal Reserves AS. Situasinya makin sulit karena penggunaan mata uang bersama euro antara negara-negara Uni Eropa, kecuali Inggris. Negara-negara Uni Eropa harus kehilangan peran bank-bank sentralnya sebagai kreditor. Sementara di AS dan Inggris, bank sentral mereka bisa mencetak uang untuk membayar utang-utangnya. Hal ini tidak bisa terjadi di negara-negara anggota Uni Eropa. Dan sejumlah negara Uni Eropa pun merasakan akibatnya karena mengalami gagal bayar utang-utang mereka, sebut saja Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol karena bank-bank sentral mereka tidak bisa mencetak euro sendiri dan hanya European Central Bank yang bisa melakukan pencetakan.
Sama hal nya dengan di AS, di Eropa kebijakan ekonomi yang diterapkan lebih kepada upaya menyelamatkan bank-bank swasta dari kebangkrutan.
Begitulah yang terjadi, kebijakan ekonomi di Barat dan Eropa menjadi alat bagi orang-orang kaya untuk memperkaya diri sendiri, dan membiarkan kemiskinan makin menyebar di kalangan penduduk dunia yang tak berdaya secara ekonomi dan finansial. (kw/GS)

0 Comments:

Post a Comment