21 Julai 2011


Wawancara wartawan Media Islam Al-Ma’sadah dengan syaikh Abu Aiman Al-Mishri
حُكْمُ دُخُولِ اْلأَحْزَابِ لِمَصْلَحَةِ تَطْبِيقِ الشَّرِيعَةِ
Hukum Masuk Partai Politik dengan Tujuan Penegakan Syari’ah
Syaikh Abu Aiman Al-Mishri hafizhahullah
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Soal (1):
Apakah hukum masuk ke dalam partai-partai politik dan mengikuti pemilu-pemilu kontemporer untuk mashlahat iqamatud dien (menegakkan agama Islam) dan tathbiq syari’ah (menerapkan syariat)? Apakah hal itu termasuk amal shalih, ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, dan amal ketaatan? Ataukah termasuk perbuatan dosa, kemaksiatan, dan perbuatan haram?
Jawab:
Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, shahabat, dan umatnya yang setia meniti sunahnya sampai hari kiamat. Dengan izin dan kekuatan Allah semata, saya jawab:

Ketahuilah sesungguhnya tauhid dan meninggalkan syirik adalah pangkal ibadah dan dien karena ia merupakan tujuan Allah menciptakan semua makhluk. Allah memerintahkan semua makhluk untuk mengesakan Allah dengan beribadah dan bertauhid, mengakui bahwa hak memerintah dan menetapkan hukum hanyalah milik Allah, tidak menyaingi Allah dengan mengklaim memiliki sebagian dari hak-hak istimewa yang hanya milik Allah, dan menerima semua perintah-Nya tersebut dengan sepenuh penyerahan diri. Dengan melaksanakan semua itulah kita menjadi kaum muslimin, dan bapak kita nabi Ibrahim AS menyebut kita umat Islam.
Inti ajaran semua rasul adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, perintah-Nya dan hukum-Nya, sekalipun tatacara syari’at dan hukum mereka berbeda-beda pada setiap umat. Sebagian hal yang diharamkan bagi umat tertentu —seperti bekerja pada hari Sabtu pada Bani Israil— menjadi halal bagi umat lain. Sebagian rasul terkadang datang membawa syariat yang memberi keringanan kepada umat tertentu atau bahkan perintah yang berat kepada umat tertentu lainnya sebagai bentuk hukuman Allah atas kejahatan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa dasar ajaran para rasul adalah satu dan tidak ada perbedaan, yaitu tauhid, mengesakan Allah dengan beribadah kepada-Nya semata, tidak menjadikan sekutu bagi-Nya dalam hal memerintah dan menetapkan hukum. Amalan-amalan ibadah tidak lain adalah pengejawantahan dari penyerahan diri dan ketundukan kepada-Nya semata tersebut.
Oleh karenanya sesuatu yang diharamkan bagi sebuah umat terkadang dihalalkan bagi umat yang lain, apa yang diwajibkan atas suatu kaum terkadang tidak diwajibkan atas kaum yang lain. Misalnya membunuh diri sendiri atau keluar dari kampung halaman.
Namun juga perlu diperhatikan bahwa klaim berserah diri semata belumlah cukup jika tidak disertai sikap melaksanakan syariat-Nya, karena pelaksanaan syariat-Nya adalah bukti  kebenaran klaim. Pun demikian, melaksanakan syariat bukanlah bukti tak terbantahkan dari adanya hati yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT (orang-orang munafik secara lahiriah melaksanakan syariat namun secara batin tidak berserah diri kepada Allah SWT—edt). Ia adalah perbuatan lahiriah yang kita menilai manusia atas dasarnya.
Oleh karenanya, jika seseorang melaksanakan ajaran-ajaran syariat namun ia menolak untuk menundukkan dan menyerahkan hatinya sepenuhnya kepada Allah SWT, niscaya amal perbuatannya tidak ada nilainya sedikit pun. Barang siapa menerapkan undang-undang yang merealisasikan syariat namun membatalkan ketundukan hati kepada Allah, maka amal perbuatannya tersebut tertolak dan rusak.
Seperti orang yang hendak menerapkan hukum-hukum hudud (pidana Islam) dan menerapkan syariat melalui metode yang mengakui adanya sekutu bagi Allah SWT dalam hal menetapkan hukum dan perundang-undangan, menyerahkan kedaulatan (menetapkan undang-undang dan memerintah rakyat) kepadanya yang menyamai kedaulatan Allah (untuk menerapkan undang-undang dan memerintah manusia); apalagi jika mendahulukan kedaulatan sekutu tersebut atas kedaulatan Allah SWT, seperti halnya sistem pemerintahan sekuler dan demokrasi yang menyerahkan kedaulatan sepenuhnya ke tangan rakyat, para pengusungnya mengatakan: “Melalui rakyat dan pengakuan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat, kita tegakkan syariat Islam.” Orang yang bersemboyan seperti ini berarti telah meruntuhkan pokok ajaran Islam demi membangun cabang ajaran Islam.
Terkadang seseorang boleh melakukan tindakan yang lahiriahnya merupakan kekufuran seperti tindakan sahabat Muhammad bin Maslamah kepada (gembong Yahuudi) Ka’ab bin Asyraf, sahabat Abdullah bin Unais dengan (gembong musyrik) Khalid bin Sufyan Al-Hudzali, dan Fairuz ad-Dailamii dengan (nabi palsu) Aswad Al-Ansi. Namun peristiwa-peristiwa tersebut tidak bisa dijadikan dalil pada masa sekarang untuk masuk ke majelis-majelis pembuat undang-undang (MPR/DPR/parlemen) dan membuat partai-partai politik.
Penyebabnya tindakan-tindakan sahabat tersebut telah memenuhi beberapa aturan yang saat ini tidak bisa dipenuhi (oleh parlemen dan partai-partai politik), yaitu:
  1. Tindakan-tindakan sahabat tersebut dibolehkan karena hasilnya jelas yaitu menolong dan menegakkan agama Allah secara utuh, dan keringanan seperti itu tidak boleh digunakan untuk melakukan tindakan yang haram, dilarang, atau bid’ah. Barangsiapa ingin mempergunakan parlemen sebagai metode untuk mengelabui para thagut demi menegakkan syariat, maka hendaknya ia menegakkan Islam yang benar dan utuh. Setelah kekuasaan berada sepenuhnya di tangan, ia harus mencampakkan undang-undang dasar, undang-undang, sistem pemerintahan sekuler dan parlemen itu sendiri. Lalu ia harus menerapkan sistem Islam secara utuh dan membatalkan kedaulatan rakyat, sehingga rakyat tidak memiliki kedaulatan lagi setelah tegaknya sistem Islam. Adapun jika keringanan ini dipergunakan untuk menegakkan sistem demokrasi di mana rakyat bebas sepenuhnya hendak menerapkan syariat Islam atau tidak, lalu kedaulatan sepenuhnya tetap di tangan rakyat, maka tidak boleh mengambil keringanan tersebut untuk langkah seperti ini.
  2. Tindakan yang dilakukan sahabat tersebut hanya dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang semata, secara rahasia, dan dalam ruang lingkup manusia yang sedikit (sempit). Tindakan seperti itu tidak boleh dilakukan oleh banyak manusia, dikampanyekan dan disebarluaskan sehingga dikerjakan oleh sebagian besar umat Islam. Hal itu jelas tindakan menyesatkan umat dan merusak akidah kaum muslimin. Tentu saja ini merupakan kerusakan yang paling besar. Barangsiapa ingin menegakkan syariat Islam melalui jalan pemilu dan menyebar luaskan prinsip-prinsip demokrasi dan sekulerisme di tengah umat niscaya tidak akan selamat dari fitnah. Akibatnya umat akan membenarkan prinsip-prinsip demokrasi dan sekulerisme, mereka meyakini rakyat adalah pemegang kedaulatan penuh sebagai sekutu Allah dalam hal menetapkan undang-undang dan memerintah. Maka generasi demi generasi Islam akan terdidik dalam keyakinan yang salah ini, meyakini dan membenarkannya. Tentu hal ini tidak boleh dilakukan karena merusak akidah umat Islam.
  3. Hendaknya penegakkan sistem Islam secara utuh, pemberlakuan syariat Islam, dan pelengseran sistem sekuleris-demokratis benar-benar bisa direalisasikan, atau menurut dugaan kuat bisa direalisasikan. Adapun jika diraihnya hal itu masih berupa kemungkinan-kemungkinan apalagi kemungkinan yang lebih kecil, maka selamanya tidak boleh dilakukan, karena merupakan tindakan menampakkan kekufuran dan menyesatkan umat Islam tanpa merealisasikan maslahat yang dibenarkan oleh agama. Kemungkinan gagalnya pencapaian tujuan melalui jalan ini akan kami bahas dalam bagian tersendiri.
Soal (2):
Mungkinkah kelompok-kelompok Islam menegakkan sistem hidup Islam secara utuh (kaafah) melalui metode tersebut? Apa alasannya?
Jawab:
Kemungkinan terbesar:
Metode seperti ini akan gagal menegakkan sistem Islam yang utuh, karena beberapa faktor.
  1. Dewan Militer dan negara-negara Barat seperti Amerika dan dan lain-lain telah menegaskan secara terang-terangan bahwa mereka tidak bisa menerima tegaknya sebuah negara agama “Daulah Islamiyah” (Negara Islam)
    Dewan Militer Mesir pada tanggal 4 April 2011 M telah menegaskan bahwa Mesir adalah negara sipil, dan Mesir sekali-kali tidak akan menyerahkan kekuasaannya kepada Khomeini lain.
    Koran Sore Al-Ahram edisi 5 April 2011 M menulis berita sebagai berikut:
    Dewan Militer: Selamanya kita tidak akan berkhianat atau berkompromi
    Oleh: Ahmad Abdul Khaliq
    Al-Ahram, 5 April 2011 – Dewan tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir menegaskan kembali bahwa Dewan Militer tidak akan pernah mengizinkan berdirinya sebuah negara agama di Mesir atau mengulang contoh di negara lain. Dewan Militer menyebutkan bahwa peradaban bangsa Mesir yang mencuat lewat tuntutan publik untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar dan berduyun-duyunnya mayoritas yang ‘diam’ menuju kotak-kotak pemungutan suara merupakan indikasi kesadaran dan keteguhan bangsa Mesir untuk menganut negara demokrasi, sekaligus bukti kerinduan mereka kepada kebebasan yang sebenarnya dan pemerintahan yang beradab… toleransi Islam telah dipraktekkan oleh segenap penduduk di Mesir berkat peranan Al-Azhar University.
    Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata juga menegaskan bahwa para pemimpin Angkatan Bersenjata telah mengerahkan segenap upaya dalam rangka meletakkan pondasi peradaban yang kokoh bagi tegaknya sebuah pemerintahan sipil, demokratis, dan modern.
    Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata juga memperbaharui komitmennya untuk mendukung tuntutan bangsa Mesir untuk membangun sebuah negara modern yang tegak di atas dasar kebebasan dan demokrasi.
    Jendral Muhammad Mukhtar Mula Musa’id, mentri pertahanan, menjelaskan bahwa Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata tidak akan pernah mengizinkan kelompok-kelompok radikal untuk menguasai Mesir. Menurutnya, Dewan Militer terus bekerja untuk merealisasikan sebuah pemerintahan sipil yang demokratis.
    Deklarasi Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata no. 64 menjelaskan sebagai berikut:
    “Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata menegaskan kembali hal-hal berikut:
    • Dewan Militer berkomitmen untuk menyempurnakan segala harapan dan cita-cita seluruh bangsa Mesir untuk menegakkan sebuah pemerintahan sipil yang tegak di atas dasar demokrasi yang merealisasikan kebebasan dan keadilan sosial.
    • Dewan Militer mendukung generasi muda untuk berperan serta aktif dalam kehidupan poitik dengan menyalurkan keinginan mereka melalui pembentukan partai-partai politik yang mencerminkan visi dan misi mereka.”
    Maka siapa pun yang mengajak untuk membentuk partai-partai politik dan mengklaim suasana politik saat ini telah memberi peluang bagi penegakan syariat Islam adalah klaim yang salah dan tidak sesuai dengan realita.
    ((Berikut ini ringkasan dari “Deklarasi Konstitusi 2011” (UUD sementara Mesir yang diadopsi oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata pada tanggal 30 Maret 2011—edt):
    Konstitusi menetapkan Mesir sebagai “Negara Demokrasi”, berasal dari kedaulatan rakyat, dan sebagai bagian dari Dunia Arab.  Ia memproklamasikan sistem pemerintahan sebagai multi-partai sistem semi-presidensial dalam kerangka prinsip-prinsip dasar dan komponen masyarakat Mesir.
    Konstitusi menetapkan pluralitas partai sebagai dasar dari sistem politik (Pasal 1) dan sehingga memungkinkan pembentukan partai politik yang berbeda, namun partai politik tidak boleh didirikan berdasarkan atas dasar diskriminasi seperti agama, ras atau jenis kelamin (Pasal 4 ).
    Deklarasi ini menjunjung tinggi bahwa “kebebasan individu merupakan hak alami” dan menganggap semua warga negara sederajat.  Ini menjamin set kebebasan termasuk: “hak untuk melindungi kehidupan pribadi warga negara” (Pasal 8), “Kebebasan keyakinan dan kebebasan mempraktekkan hak-hak religius” (Pasal 12), “Kebebasan berekspresi” (Pasal 12) , Kebebasan Pers dan publikasi lainnya (Pasal 13), Kebebasan berserikat pribadi yang damai dan tidak bersenjata, tanpa perlu pemberitahuan sebelumnya (Pasal 16), hak pilih universal, serta hak untuk membentuk masyarakat sipil (Pasal 4) — edt
    Sumber: www.en.wikipedia.org/wiki/2011_Provisional_Constitution))
  2. Andaikata Dewan Militer dan negara-negara Barat memberi peluang untuk penegakan syariat Islam di Mesir, maka bukti-bukti realitas menunjukkan bahwa mereka tidak akan berkomitmen dengan pemberian peluang tersebut. Mereka akan komitmen dengan demokrasi selama pemerintahan yang berkuasa bukan pemerintahan yang menerapkan syariat Islam. Jika pintu demokrasi mengantarkan kaum muslimin untuk menegakkan pemerintahan Islam, mereka akan segera berbalik tidak mengakui keabsahannya. Bahkan mereka segera mencampakkan demokrasi, melakukan kudeta militer, dan menegakkan pemerintahan diktator sekuler. Sebagaimana hal itu telah terjadi di Aljazair dengan partai FIS, Turki saat partai Najmudin Erbakan memenangkan pemilu dan berhak menjabat sebagai Perdana Mentri, dan Malaysia dengan Muhammad Ibrahim. Para aktivis Islam tidak akan diberi peluang kecuali jika mereka telah begitu tenggelam dan menyatu dengan sekulerisme, seperti yang telah terjadi pada diri Erdogan. Erbakan sendiri —gerakan-gerakan fundamentalis Islam menganggapnya telah menyimpang— sudah menganggap Erdogan sebagai aktivis yang menyimpang dan sesat.
  3. Andaikata pihak militer tidak mencampakkan sistem demokrasi —sebuah kemungkinan yang sangat kecil— dan tidak memberangus partai Islam, boleh jadi aliran perjuangan Islam tidak akan mencampai kemenangan pemilu secara mutlak, karena berbagai kecurangan dalam pemilu yang dilakukan oleh kelompok sekuler, dan hal iitu sudah berulang kali terjadi di mana-mana.
  4. Andaikata pihak militer memberi peluang, tidak mencampakkan sistem demokrasi,  dan tidak melakukan kecurangan dalam pemilu pun; kemungkinan aliran perjuangan Islam meraih kemenangan mutlak sehingga bisa melakukan apa saja, membangun sistem pemerintahan Islam secara utuh, dan meruntuhkan serta mencampakkan sistem sekuler pun bukanlah hal yang bisa dipastikan. Kemungkinan itu juga tidak terlalu besar, mengingat ada penduduk non-muslim yang ikut serta dalam pemilu, kelompok-kelompok sekuler yang memerangi syariat, kelompok (bahkan mayoritas rakyat) orang awam yang tidak mengenal kebenaran sehingga bisa diperdaya oleh propaganda kelompok musuh Islam, kelompok munafik yang memang senantiasa ada sepanjang sejarah, dan kelompok muslim pelaku maksiat yang takut dengan penegakan syariat. Belum lagi aliran perjuangan Islam terpecah dalam banyak kelompok yang memiliki perbedaan penafsiran tentang tujuan yang benar (perspektif tentang sistem Islam yang utuh) yang hendak diraih. Sebagian pihak memandang tujuan yang hendak diraih adalah penegakan sistem demokrasi, demokrasi harus dihormati dan tidak boleh keluar dari demokrasi agar syariat bisa diterapkan melalui sistem yang ada.
Perpecahan suara kelompok-kelompok Islam di antara kelompok-kelompok non-Islam
Inilah kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariat Islam. Boleh jadi kemungkinan-kemungkinan pahit ini belum disadari oleh pihak-pihak yang mengkaji kemungkinan keberhasilan partai-partai Islam untuk menegakkan sistem Islam secara utuh lewat jalur pemilu dan parlemen. Maka dari mana bisa diyakini atau diduga kuat bahwa mereka akan sampai kepada tujuan menegakkan syariat Allah?
  1. Andaikata apa yang dilakukan oleh partai-partai Islam tersebut benar-benar bisa dipastikan atau diduga kuat meraih kemenangan yang dicita-citakan, tidak menyesatkan dan membuat bingung umat Islam, berhasil menegakkan sistem Islam secara utuh, meruntuhkan syirik, memurnikan  kedaulatan untuk Allah semata, mencampakkan hak kedaulatan di tangan rakyat atau manusia lainnya; maka partai-partai Islam yang mengambil pilihan berjuang lewat jalur pemilu dan parlemen tersebut tidak boleh mencela umat Islam lainnya yang mengingkari pilihan perjuangan tersebut, karena para anggota partai Islam tersebut telah melakukan yang haram dan mungkar, bahkan para ulama telah sepakat menyatakannya sebagai sebuah kekafiran, yaitu menjadikan sebagian makhluk sebagai sekutu Allah dalam sebagian hak khusus Allah (yaitu hak memerintah dan menetapkan undang-undang) dan mendahulukan perintah makhluk atas perintah Allah Sang Pencipta.
  2. Sebagian pihak menyatakan bahwa sebagian ulama telah memberi fatwa keringanan (izin) untuk mengikuti perjuangan lewat pemilu dan parlemen, sehingga perkara ini termasuk perkara khilafiyah yang tidak boleh diingkari. Pendapat ini tidak benar, karena yang tidak boleh diingkari adalah ketika para ulama berbeda pendapat apakah sebuah perbuatan nilainya haram atau halal, dan juga perbedaan mereka untuk menetapkan perintah dan hukum Allah dalam sebuah masalah.
Adapun dalam masalah perjuangan lewat pemilu dan parlemen ini, semua pihak ulama sepakat perbuatan tersebut haram, namun pelakunya memiliki keringanan dalam hubungan pribadinya dengan Allah. Meski begitu, perbuatannya adalah kemungkaran yang semua pihak wajib mengingkarinya dan lantang melakukan pengingkaran agar perbuatan keji tersebut tidak menyebar luas, umat tidak rusak, dan generasi Islam tidak tersesat.
Hal ini seperti halnya orang yang meminum khamr karena hampir mati kehausan, atau memakan bangkai karena hampir mati kelaparan, atau makan pada siang hari Ramadhan karena memiliki udzur. Wajib bagi semua pihak yang melihatnya untuk mengingkarinya kecuali jika ia mengetahui udzurnya. Jika udzurnya tidak diketahui, maka hukum asalnya adalah melakukan pengingkaran. Orang yang berjuang lewat pemilu dan parlemen, atau orang yang masuk menjadi anggota tentara taghut atau menjadi pegawai pemerintahan taghut untuk melakukan kudeta dari dalam haruslah diingkari.
Para sahabat yang melakukan pembunuhan rahasia atas diri para pemimpin kekafiran menyembunyikan udzur dan alasan mereka agar musuh tidak membongkar penyamaran mereka. (Mereka melakukan operasinya secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh kaum muslimin sehingga tidak menyesatkan akidah dan membingungkan umat—edt). Maka bagi mereka udzur dan pahala di sisi Allah. Adapun jika orang-orang (kelompok Islam) melakukan tindakan semisal itu di hadapan masyarakat, maka mereka tidak memiliki udzur sehingga wajib diingkari selama alasan mereka tidak diketahui oleh masyarakat.
Soal (3):
Sebagian pihak berpegang teguh dengan fatwa sebagian ulama kontemporer yang memperbolehkan berjuang melalui lembaga legislatif (MPR/DPR/parlemen) untuk tujuan ini. Mereka lantas menganggap persoalan ini adalah masalah khilafiyah sehingga tidak boleh diingkari. Bagaimana tanggapan Anda?
Jawab:
Fatwa seorang ulama harus dibangun di atas dua dasar secara bersamaan, yaitu ilmu tentang realita dan ilmu terhadap syariat Allah. Jika seorang ulama tidak mengetahui realita, maka ia akan memberikan fatwa berlandaskan fakta-fakta yang hanya disodorkan oleh pihak peminta fatwa. Saya melihat sendiri bagaimana sebagian pihak yang bertanya telah menyodorkan sejumlah fakta yang menggiring ulama yang ditanya untuk memberikan fatwa sesuai keinginan pihak yang bertanya tersebut. Karena realita yang diterima oleh ulama tersebut hanya berita sepihak dari pihak yang bertanya, otomatis fatwanya tak berbeda dengan keinginan pihak yang bertanya tersebut.
Saya pernah menghadiri pengajian seorang ulama besar Timur Tengah yang ditanya oleh beberapa ulama Mesir tentang hukum berjuang lewat pemilu legislatif. Maka ulama tersebut menjawab kepada mereka bahwa sebagian kelompok Islam di Kuwait pernah meminta fatwa yang serupa kepadanya. Kelompok Islam di Kuwait tersebut menyebutkan kepadanya bahwa mereka masuk menjadi anggota lembaga legislatif untuk mendakwahkan agama Allah. Ulama tersebut memfatwakan hal itu boleh saja dengan beberapa syarat yang sangat sederhana, yang ia duga bisa direalisasikan. Para ulama Mesir lantas menjelaskan kepada ulama tersebut realita pemilu dan lembaga legislatif serta konskuensinya yang harus mengakui sistem demokrasi dan lain sebagainya, dan  bahwa syarat-syarat yang ia sebutkan tersebut mustahil bisa direalisasikan, maka ia pun menarik kembali fatwanya.
Jadi, jika kepada para ulama yang memberi fatwa tersebut dijelaskan realita yang ada dan kedudukannya secara ilmiah berdasar ajaran syariat yang benar, niscaya jawaban mereka pun akan berbeda.
Lebih dari itu, fatwa para ulama tersebut bukanlah dalil syar’i. Justru ia masih harus didukung oleh dalil-dalil syar’i yang benar. Orang yang meminta fatwa tidak boleh mengamalkannya sebelum mengetahui dalil-dalil syar’I fatwa tersebut. Kecuali apabila ia adalah orang awam yang belum sampai kepadanya ilmu kecuali fatwa ulama tersebut. Kalau kondisinya seperti itu, sudah tentu ia tidak boleh memberi fatwa, memimpin umat Islam dan mengajak umat untuk berjuang lewat lembaga legislatif dan partai-partai politik. Ada banyak orang selainnya yang mampu untuk memilih dalil-dalil syar’i (yang shahih dari yang salah) dan melakukan tarjih atas berbagai fatwa ulama.
Orang yang memegangi fatwa-fatwa seperti ini harus melakukan ricek ulang; bagaimana fatwa itu bisa keluar, bagaimana bentuk pertanyaan si penanya, fakta apa yang disodorkan oleh penanya dalam pertanyaan tersebut, apakah bentuk pertanyaan sudah sesuai dengan realita. Ia harus menanyakan dalil-dalil syar’i yang melandasi fatwa tersebut, mengetahui pendapat dan fatwa para ulama yang menyelisihinya —para ulama lain memiliki pendapat dan fatwa yang terang-terangan mengharamkan perjuangan lewat metode tersebut— lalu ia harus memadukan atau melakukan tarjih atas berbagai dalil syar’i yang ada. Baru setelah itu ia mengambil sikap berdasar ilmu yang benar.
Jika secara ilmu syar’i ia tidak memiliki kemampuan itu, maka ia jelas tidak berhak memimpin dan mengajak kaum muslimin kepada kesesatan. Hendaklah ia mempersilahkan orang lain yang memahami dalil-dalil syar’i dan memampui kemampuan tarjih untuk menjelaskan persoalan tersebut, atau membantah pendapatnya dengan dalil-dalil yang shahih lagi terang, bukan dengan fatwa-fatwa yang global.
Orang awam mungkin saja boleh berpegang kepada fatwa-fatwa seperti itu jika ia tidak mampu melakukan kajian syar’i dan tidak mampu bertanya kepada mufti yang lain. Namun sikap seperti itu jelas tidak boleh dilakukan oleh orang yang memimpin kelompok Islam dan menyeret mereka kepada sebuah persoalan besar yang merusak akidah dan tauhid. Maka tidak boleh bersandar dalam perkara penting seperti ini kepada fatwa-fatwa global yang tidak detail, namun harus dilakukan kajian dalil yang shahih atau mempersilahkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengkajinya.
Soal (4):
Sebagian pihak meninjau dari aspek maslahat dan mafsadah, bahwa tidak masuk pemilu berarti membuka pintu lebar-lebar bagi kaum sekuler untuk mengendalikan politik dan pemerintahan. Sehingga sebagian hasil kerja para aktifis Islam (yang menjadi anggota dewan legislatif) akan sia-sia, seperti misalnya pasal 2 UUD Mesir.
(Syariat Islam membela hak-hak minoritas di Mesir
oleh Sara Khorshid 
Kairo – Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas orang Mesir menginginkan syariat Islam diterapkan sebagai bagian dari sistem hukum negara. Undang-undang Dasar Mesir membuka ruang untuk hal ini: Pasal 2 Undang-undang Dasar menyebutkan bahwa syariat Islam merupakan sumber dasar hukum di Mesir.
Kendati ada legitimasi dari Pasal 2 tersebut, syariat Islam juga menjadi sumber kontroversi. Suara-suara dari komunitas Kristen Ortodoks Koptik, yang mencapai 12 persen dari total penduduk Mesir, menggugat apa yang mereka anggap sebagai diskriminasi terhadap minoritas non-Muslim yang tersirat dalam pasal ini. Para aktivis HAM sekular dan pro-demokrasi juga mengungkapkan pandangan serupa, dengan mengatakan bahwa penerapan hukum Islam tidak selaras dengan demokrasi, yang menurut mereka hanya bisa terwujud di sebuah negara sekular. edt
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 5 Februari 2010, www.commongroundnews.org)
Jawab:
Melakukan pemisahan diri (antara kelompok Islam dan kelompok sekuler—edt) pada saat ini merupakan sikap yang lebih utama dan lebih baik daripada bercampur-baur dengan mereka dalam dewan legislatif. Hanya ada dua pilihan; penegakan dien yang shahih secara utuh ataukah mencampakkan perkara-perkara yang menipu semisal pasal 2 UUD Mesir yang secara syariat maupun undang-undang sama sekali tidak menerapkan syariat Islam. Dengan begitu golongan yang selamat akan selamat berdasar alasan yang jelas, dan golongan yang hancur akan hancur berdasar alasan yang jelas.
Faktor terbesar yang menghalangi penegakan syariat dalam naungan sistem pemerintahan yang tengah berjalan dan mencegah umat dari berjuang untuk menegakkannya adalah penyesatan dan pencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan yang dilakukan oleh para ulama su’, jurnalis, cendekiawan, dan lain-lain yang menyokong penguasa sekuler dan menipu umat dalam urusan agama mereka.
Mereka melakukan penyesatan dan penipuan itu dengan memakai pasal 2 UUD Mesir, sebagian penampilan lahiriah yang religius, dan berbagai perayaan hari besar keagamaan Islam. Dengan itu semua, iman dalam hati umat tidak akan bangkit dan perbedaan antara kebenaran dengan kebatilan tidak akan nampak jelas. Akibatnya, semangat umat untuk melawan kezaliman dan penistaan terhadap agama dan syariat Islam tidak  tumbuh.
Di antara keberhasilan usaha gerakan Islam selama 50 tahun yang lalu adalah kejelasan pandangan dan kelurusan pemahaman tentang beberapa persoalan mendasar yang mengalami (??) karena lemahnya dakwah Islam. Apa yang dahulu secara rahasia sulit dibicarakan karena bercampur baurnya antara kebenaran dan kebatilan, kini telah menjadi hal yang telah dibicarakan secara terang-terangan dan dipahami secara meluas melalui jaringan media massa.
Para pembuat undang-undang sendiri telah tegas menyatakan bahwa pasal 2 UUD Mesir itu tidak berarti menerapkan syariat Islam. Pasal itu sekedar untuk mengelabui semangat keislaman kaum awam umat Islam semata. Maka barangsiapa dari kalangan kelompok Islam masih saja menyebut pasal 2 UUD Mesir sebagai bukti penerapan syariat Islam diberi peluang , niscaya ia telah berupaya untuk menimbulkan kerusakan yang berbahaya terhadap akidah kaum muslimin. Maka hanya ada dua pilihan, menerapkan syariat secara utuh atau mencampakkan tampilan-tampilan lahiriah yang menipu seperti ini, agar hakekat setiap kelompok nampak jelas.
Soal (5):
Gerangan apakah yang menjadi faktor terkuat bagi kebangkitan pergerakan Islam?
Jawab:
Di antara sunatullah adalah adanya berbagai ujian sebelum kaum muslimin meraih kemenangan sebagai seleksi dan memunculkan pihak yang layak untuk meraih kemenangan. Sebagaimana firman Allah SWT,
{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} [سورة النور: الآية 55].
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur (24): 55)
Hal itu pernah terjadi dengan Bani Israil ketika nabi Musa mengajak mereka untuk memasuki negeri al-Aqsha. Juga terjadi pada segolongan Bani Israil ketika Thalut mengajak mereka untuk berjihad melawan raja yang lalim, Jalut. Juga terjadi di Sudan ketika An-Numairi menerapkan syariat dan saat pemerintah penyelamatan mengumumkan jihad di Sudan Selatan. Begitu juga dengan beberapa jama’ah  Islam yang memasuki pertarungan melawan pemerintahan-pemerintahan kafir sekurer yang berkuasa namun kemudian mereka menghentikan perlawanan. Demikian pula halnya yang terjadi di Afghanistan ketika berdiri pemerintahan Islam Thaliban.
Dalam contoh yang terakhir, Thaliban bertahan di atas kebenaran. Semoga Allah memberikan kemenangan di bumi Afghanistan dan kekuasaan kepada mereka.
Kami khawatir ketergesaan sebagian pihak yang terburu-buru hendak memetik buah perjuangan justru akan menyebabkan kemunduran dan kehancuran gerakan Islam setelah perjuangan selama puluhan tahun yang telah lewat. Inilah arti dari tergesa-gesa sebelum waktunya yang diungkapkan dalam kata pepatah ‘Siapa tergesa-gesa hendak memetik sesuatu sebelum tiba waktunya, justru ia dihukum dengan tidak akan meraihnya’.
Maksud kami bukanlah apa yang telah dilakukan oleh sebagian kita selama puluhan tahun dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan para shahabat radhiyalahu ‘anhum; berjuang, berkorban, menanggung beban dalam jihad  di jalan Allah, dan mengambil hukum asal yang berat (‘azimah) dalam kondisi-kondisi yang diperbolehkan mengambil dispensasi hukum (rukhsah).
Maksud yang benar dan adil dari pepatah di atas berlaku untuk orang-orang yang tergesa-gesa ingin memetik hasil sebelum waktunya dengan cara yang menyelesihi hukum-hukum syariat. Adapun seorang muslim berjihad sendirian dan melakukan solo attack terhadap barisan musuh atau sekelompok kecil muslim yang lemah berperang dan bersabar menghadapi musuh Islam yang besar dan kuat, maka hal seperti ini termasuk sunnah taqrir Nabi SAW atau perbuatan shahabat radiyallahu ‘anhum (bukan termasuk tergesa-gesa hendak memetik hasil perjuangan sebelum waktunya—edt).
Maksud kata pepatah di atas berlaku untuk orang-orang yang berjihad dan bersabar menanggung beban perjuangan selama puluhan tahun, namun kemudian berhenti, melakukan tawar-menawar dengan musuh Islam, dan berkompromi dengan meninggalkan sebagian prinsip pokok Islam karena tergesa-gesa hendak meraih kemenangan ketika tanda-tanda kemenangan tersebut mulai nampak. Ia tidak tahu bahwa kemenangan itu sendiri atau tanda-tanda awal kemenangan tersebut boleh jadi menjadi fitnah dan ujian bagi dirinya.
Betapa banyak orang yang mampu bersabar saat mendapat ujian kesulitan, namun tidak bisa bersabar saat diuji dengan kenikmatan dan kemenangan yang segera.
Seandainya seorang muslim memandang dengan keyakinan yang tulus niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini tidak ada nilainya sama sekali, dan perintah untuk memperjuangkan dien Islam, menegakkan hukum-hukumnya, merealisasikan syariat-syariatnya dan seluruh beban-beban syariah lainnya, pada hakekatnya hanyalah sebuah ujian bagi manusia, bukan sebuah tujuan final. Tujuan final hanyalah mencari ridha Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT,
{فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ} [ سورة محمد: الآية 4]
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (QS. Muhammad (47): 4)
Dan firman-Nya,
{وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَن الْعَالَمِينَ}
“Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al-Ankabut (29): 6)
Seandainya kemenangan itu menjadi tujuan final, sudah tentu Rasulullah SAW dan para shahabatnya tidak akan mengalami penderitaan, luka-luka, dan kekalahan.
Kami mendukung kalian dalam melakukan semua metode yang menyegerakan penegakan syariat Islam atau meminimalkan serta meringankan penderitaan kaum muslimin dari berbagai fitnah yang mendera mereka. Namun dengan syarat metode tersebut adalah metode yang benar dan sesuai syariat.
Adapun jika metode yang ditempuh adalah perbuatan yang tidak halal dan diharamkan oleh Allah SWT —sementara Allah menetapkan syariat-Nya untuk menguji sejauh mana tingkat ketaatan dan penyerahan diri kita kepada-Nya— maka kami tidak sependapat dengan (metode) kalian. Walaupun untuk itu, kami harus kehilangan nyawa, harta, istri, anak, kedudukan, jabatan, dan kekuasaan di dunia.
Allah SWT berfirman,
{قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ}
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah (9): 24)
Hal yang paling kami khawatirkan adalah jika sebagian aktivis Islam yang menempuh jalan perjuangan Islam ini terkena fitnah dan tergesa-gesa hendak memetik buah perjuangan, sehingga mereka keluar dari rel perjuangan dan berjalan menyimpang walau hanya sedikit, kemudian mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT walau dalam satu bagian saja. Akibatnya ma’iyyah (bimbingan, pertolongan, dan pembelaan) Allah SWT dicabut dari diri mereka. Allah SWT menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri di hadapan musuh-musuh mereka.
Akhirnya kemenangan yang mereka sangka telah dekat tersebut berbalik menjadi kekalahan telak yang memusnahkan hasil usaha gerakan Islam selama puluhan tahun sebelumnya. Ujung-ujungnya, mereka akan menyesal di dunia dan akhirat. Padahal sebenarnya kemenangan dengan izin Allah telah dekat jika saja mereka bersabar dalam ketaatan kepada Allah SWT.
Buahnya tidak lain adalah kemunculan seorang diktator militer yang membantai dan menindas rakyat. Jika pembelaan Allah SWT telah dicabut dari diri kita, maka nilai kita tidak berbeda dengan orang-orang yang terlibat dalam perang saudara dan perang dunia. Tidak ada yang bisa melindungi kita dari semua bencana tersebut selain Allah Rabbul ‘alamin.
{وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ}
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (QS. Al-An’am (6): 61)
Maka seluruh kaum muslimin harus berhati-hati, jangan sampai ikut berperan serta dalam sekulerisme, demokrasi, pemilu, dan partai-partai politik. Kecuali dalam bentuk partai-partai Islam yang melakukan kegiatan politik sebagai bagian dari dakwah kepada agama yang haq tanpa mengikuti pemilu dan tanpa menjadi bagian dari dewan legislatif, maka hal ini boleh. Sayangnya, di lapangan (negara Mesir—edt) partai Islam yang seperti ini tidak ada. (kalaupun ada) lebih utama tidak dinamakan partai, namun dinamakan jam’iyah, lembaga, atau organisasi agar tidak menimbulkan kerancuan dan pencampur bauran.
Tadi sudah kami jelaskan tidak bolehnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik (pemilu dan dewan legislatif dalam sistem demokrasi-sekuler, edt) kecuali apabila memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, yang sudah jelas syarat-syarat tersebut dalam praktek di lapangan mustahil bisa dipenuhi. Dengan demikian, dalam kondisi kita saat ini, keterlibatan dalam politik praktis seperti itu hukumnya haram. Wallahu a’lam.
Diterjemahkan oleh: Muhib Al Majdi / Arrahmah.com
شموخ الإسلام / الميثاق © 1432-2011

0 Comments:

Post a Comment