12 Julai 2012

MUHASABAH (salam-online): Adalah sangat menyedihkan, hingga saat ini kita sulit mendapatkan ulama, pemimpin umat sekaligus pemimpin bangsa dalam arti sesungguhnya.
Ulama yang dimaksud bukan sekadar menguasai ilmu alat seperti fiqih, tafsir, hadits, dan sebagainya. Lebih dari itu, kita mendamba ulama pejuang, pemimpin yang kredibel, kapabel dan akseptabel, serta memiliki integritas tinggi. Ulama sekaligus presiden, gubernur, walikota, bupati, dan sebagainya.
Sebab, dalam Islam tak ada pemisahan Ulama dengan Umaro (pemerintah). Nabi sekaligus pemimpin Negara dan pemerintahan. Para khalifah itu, ya Ulama, ya kepala Negara dan pemerintahan...klik tajuk / link
Memisahkan keduanya, itu namanya sekular. Islam menolak sekularisme.
Karena itulah, ulama yang dimaksud, sebagaimana disebut di atas, bukan sekadar menguasai “ilmu alat”. Mereka adalah sosok yang secara makro memahami dan memiliki wawasan kebangsaan, kenegaraan, internasional, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Mereka adalah pemimpin yang dapat dijadikan teladan, kredibel (amanah, dapat dipercaya).
Bagi kaum Muslimin kredibilitas pemimpin itu faktor yang sangat penting, sehingga jika ia mengeluarkan statemen atau “fatwa”, umat tak kan meragukannya. Jika ada tokoh yang mengeluarkan pernyataan atau mengajak umat untuk melakukan sesuatu, tapi banyak penolakan, pertanda sang figur masih belum dipercaya. Kredibilitasnya masih dipertanyakan.
Di samping kredibel di mata umat, pemimpin yang kita maksud harus kapabel, yakni mampu, sanggup, cakap, pandai. Dia adalah sosok yang memiliki kemampuan dalam memimpin, menjadi problem solver, cakap dan cerdas dalam memecahkan masalah bagi rakyat (umat)nya.
Sekadar memiliki Kredibilitas dan Kapabilitas, tak cukup. Keduanya tak punya arti apa-apa, kalau tak didukung dan diterima banyak pihak. Karenanya, seorang pemimpin harus Akseptabel, yakni diterima banyak kalangan.
Akseptabilitas pemimpin itu sangat bergantung pada Kredibilitas dan Kapabilitasnya. Dalam arti, Akseptabilitas dengan sendirinya didapat, jika Kredibilitas dan Kapabilitas  dimiliki.
Persoalannya sekarang, kita kehilangan sosok dengan ciri dan kriteria seperti tersebut di atas. Ini kita alami dalam kurun waktu yang cukup lama. Perlu waktu untuk menyusun, menata dan melakukan gerakan  kaderisasi, tarbiyah (pendidikan) di segala bidang.
Institusi pendidikan dan gerakan Islam mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menggerakkan kembali sel-selnya, membentuk pribadi-pribadi yang andal dan militan, berkarakter dan memiliki integritas tinggi, dan tentu saja (akhirnya) sosok-sosok yang Kredibel, Kapabel dan Akseptabel.
Untuk menghadirkan sosok yang kita maksud, tak cukup kita mengandalkan pendidikan formal. Madrasah tarbiyah yang digerakkan Rasulullah saw, para sahabat dan  para ulama dulu, ternyata banyak menghasilkan sosok (ulama) pemimpin yang diakui kredibiltas dan kapabilitasnya.
Rasulullah saw, jelas, mendapat tarbiyah langsung dari Allah SWT. Para sahabat mendapat sentuhan langsung dari Rasulullah, sehingga kita  mengenal figur-figur luar biasa seperti Abubakar Shiddiq ra, Umar bin Khaththab ra, Utsman bin  Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Umar Abdul Aziz ra, dan lainnya.
Di republik ini, kita pernah melahirkan para ulama dan pemimpin umat. Mereka lahir dan hadir dalam dadung perlawanan, berkuah darah, mengusir penjajah. Dari merekalah pesan-pesan pergerakan lahir.

Setiap kamu adalah pemimpin…
Sikap dan perjuangan mereka megusir penjajah, memberikan inspirasi kepada kita untuk menggerakkan dan menata republik ini, meskipun belakangan pengkhianatan demi pengkhianatan menimpa kita sampai sekarang.
Dalam berjuang, para ulama dan pemimpin terdahulu negeri ini, tak pernah membayangkan bahwa mereka kelak akan jadi presiden dan menteri.
“Mereka telah bekerja dengan caranya untuk memajukan bangsanya,  mengharumkan tanah airnya…. Mereka telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengabdi dan berkhidmah. Mereka tak tahu apakah pahit getirnya, air matanya yang tertumpah dan nyawanya yang melayang itu, suatu pengorbanan? Begitu ikhlas mereka memberikan segala-galanya untuk kemajuan bangsa dan tanah airnya, tanpa pamrih apapun, kecuali atas keinsafan bahwa semua itu cuma suatu keharusan hidup, kewajiban semata-mata. Pada saat bangsanya mengecap kenikmatan kemerdekaan, mereka tak lagi berada di tengah-tengahnya. Mereka telah dipanggil oleh Allah, Zat Yang Maha Kasih Sayang, untuk menikmati kebahagiaan yang abadi di sisi-Nya,” tulis KH Dr Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Sejarah dan riwayat negeri ini, memang, sangat banyak melahirkan para ulama. Jangan salah, mereka tak sekadar mengajar dan mentarbiyah umat. Tapi juga turun, berjuang, membebaskan negerinya dari kaum penjajah. Justru pesantren dijadikan basis perjuangan melawan penjajah.

Pemimpin: memberi motivasi, menuntun, mengarahkan
Para ustadz dan kiai dengan pesantren dan santrinya, jadi inspirator perjuangan, menegakkan al-Haq, membasmi al-Bathil. Penjajah sangat takut melihat semangat dan hamasah (keberanian) orang-orang pesantren. Tapi setelah penjajah hengkang dari republik, mereka dilupakan. Manakala negeri ini merdeka, lalu mengadakan pemilu, kiai dan pesantren didekati. Setelah berhasil jadi penguasa, pesantren-pesantren itu dilupakan lagi, begitulah seterusnya.
Kini, di tengah sulitnya mencari sosok pemimpin yang punya komitmen kuat terhadap Islam dan umat,  tiba-tiba ingatan kepada tarbiyah di pesantren dan berguru kepada kiai yang memiliki ilmu luas dan ikhlas, memberikan semangat dan optimisme, bahwa semoga kelak, akan lahir sosok yang kita dambakan itu.
Kiranya, pemimpin yang memiliki kemampuan dengan kondisi seperti digambarkan di atas, akhirnya membawa negeri dan bangsa ini berada dalam naungan Islam–dimana semua aspek kehidupan berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Tidak seperti sekarang, dimana kehidupan berpolitik, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya, bertolak belakang dengan Islam.

0 Comments:

Post a Comment