09 Februari 2014

BANDA ACEH - Penerapan Hukum Acara Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam memungkinkan warga non-Muslim dijatuhi hukum rejam, jika pelanggarannya tidak diatur dalam KUHP.

Ketua Badan Legislatif DPR Aceh, Abdullah Saleh, mengatakan penerapan Syariah Islam kepada warga non-Muslim dimaksudkan sebagai perlakukan yang sama bagi semua penduduk yang tinggal di provinsi Aceh.

"Tercipta ketidakadilan hukum di dalam masyarakat kalau orang yang Muslim dihukum jika melakukan pelanggaran hukum, sementara yang non-Muslim lepas, kan tidak ada keadilan hukum dalam situasi seperti itu," jelasnya kepada wartawan di Banda Aceh. Namun Saleh menegaskan bahwa kerudung atau hijab tidak diwajibkan bagi perempuan non-Muslim......

Dalam situasi sebuah pelanggaran hukum diatur oleh KUHP, maka warga non-Muslim boleh memilih untuk  diberi sanksi berdasarkan KUHP atau Syariah Islam. Bagaimanapun tetap terbuka kemungkinan bahwa warga non-Muslim mendapat sanksi hukum rajam.

"Dikenakan kepada yang non-Muslim bila memang pelanggaran terhadap Syariah Islam tidak diatur oleh KUHP. Kalau diatur oleh KUHP, dia bisa ambil KUHP," tambah Saleh.

Hukum Acara Syariah Islam ini sudah disepakati pada tanggal 23 Desember lalu dan secara resmi diterapkan mulai tanggal 31 Desember.



Polisi Menangkap Anak Punk

Dibagian lain, aparat kepolisian Aceh melakukan penangkapan terhadap puluhan remaja penggemar musik punk di ibukota Banda Aceh dengan alasan pembinaan. Polisi beralasan para remaja punk ini ditangkap karena dianggap "meresahkan masyarakat."

Sekitar 60 orang remaja pengggemar musik punk atau biasa dijuluki "anak punk" tersebut menggelar konser amal bertajuk " Aceh for the Punx" di Taman Budaya, Banda Aceh, Sabtu (10/12) malam. Namun di tengah acara, polisi dari Kepolisian Daerah Nanggro Aceh Darussalam membubarkan konser dan menangkap para peserta serta penonton. Para remaja punk itu kemudian dibawa ke Sekolah Polisi Nasional Seulawah Aceh, Selasa (13/12).

Pembinaan

Evi Narti Zain dari Koalisi Hak Asasi Manusia Aceh mengatakan, anak-anak punk yang berasal dari Aceh dan sejumlah kota lain seperti Batam dan Medan itu dibawa ke Sekolah Polisi Nasional untuk dibina. " Polisi mengatakan, anak-anak punk itu dirazia karena masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran mereka," kata Evi. "Jangan dianggap melanggar HAM, tapi untuk mendidik agar mereka kembali seperti manusia normal".

Menurut Ervi, tindakan polisi tersebut tidak bisa disebut sebagai unsur pembinaan. "Apakah polisi puas dengan menggunduli anak anak itu? Pembinaan anak punk tidak bisa dilakukan dengan cara kekerasan," tutur Evi. Ia mengatakan tindakan polisi merazia anak punk di Aceh sangat tidak kooperatif dan tidak menyelesaikan permasalahan.

Dasar hukum yang digunakan oleh polisi adalah pasal perbuatan tidak menyenangkan dan meresahkan masyarakat. Dalam pemberitaan media lokal, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan membantah penangkapan tersebut dianggap sebagai pelanggaran HAM.

''Jangan dianggap melanggar HAM, tapi untuk mendidik agar mereka kembali seperti manusia normal. Mereka akan dibina, kami berorientasi pada pendidikan di komunitas kita, bangsa kita,'' kata Iskandar.

Menurut Iskandar, para punk yang memang dikenal dengan dandanan yang nyentrik, rambut ugal-ugalan dan pakaian hitam dekil ini telah mengganggu kenyamanan masyarakat.

Iskandar menambahkan bahwa pihaknya juga akan mengundang ulama Muslim untuk berpartisipasi ''mengembalikan pemikiran dan moral mereka.''

Aceh merupakan provinsi di Indonesia yang menjalankan syariat Islam. Melalui perda syariat ini polisi Aceh sering kali melakukan razia terhadap orang yang dianggap melanggar aturan. Sejumlah razia yang pernah dilakukan adalah razia penggunaan jilbab, celana jeans dan pasangan mesum. (dbs/afgh/voa-islam.com)

0 Comments:

Post a Comment