08 Ogos 2012

ULAMA SALAF DAN SULTAN

Sumber [nahimunkar.com
Para ulama Rabbani adalah pewaris para Nabi. Para Nabi adalah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan takut kepada Allah, serta tidak takut kepada siapapun. (Lihat QS. al-Ahzab: 39)
Salah satu amalan Para Nabi adalah berdakwah menyampaikan risalah, beramar makruf dan nahi mungkar terhadap para penguasa pada zamannya. Telah shahih dari Nabi r bahwa beliau bersabda:

أفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أوْ أمِيرٍ جَائِرٍ.

“Sebaik-baik jihad adalah kalimat yang adil di sisi penguasa zhalim atau amir zhalim.” (Shahih. HR. Ahmad, Adu Daud, Tirmidzi).
Berikut ini adalah cermin salaf shalih dalam melakukan atau menyikapi masalah hisbah (amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa).
  1. 1.       Iyadh ibn Ghanm dan Hisyam ibn Hakim d......klik tajuk/link
Iyadh al-Fihri adalah  peserta Baiatur Ridhwan, Salah satu dari 5 Amir dalam peperangan Yarmuk (melawan Romawi) yang dimenangkan umat Islam, menjadi gubernur Syam menggantikan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, pada masa Umar, selama 2 tahun, lalu wafat pada tahun 20 H)
Iyadh mencambuk kepala desa Dariya (Dariya salah satu desa di Damaskus di sebelah selatan barat (barat daya) berjarak + 4 mil) saat desa itu dibuka oleh Iyadh, maka Hisyam ibn Hakim mengingkarinya dengan sangat kasar hingga Iyadh marah. Kemudian setelah beberapa malam Hisyam datang meminta maaf kepadanya. Kemudian Hisyam berkata: Tidakkah kamu mendengar sabda Rasul r:

« إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً أَشَدَّهُمْ عَذَاباً في الدُّنْيَا للنَّاسِ؟»

Artinya: Sesungguhnya diantara manusia yang paling berat siksanya adalah yang paling keras dalam menyiksa manusia.”
Maka Iyadh ibn Ghanm berkata: Kami telah mendengar apa yang kamu dengar dan melihat apa yang kamu lihat, tidakkah kamu mendengar sabda rasulullah r :

« مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ ، فَلا يُبْدِ لَهُ عَلانِيَّةً وَلكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الّذِي عَلَيْهِ » وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِىءُ إِذْ تَجْتَرِىء عَلىَ سُلْطَانِ اللهِ، فَهَلاَّ خَشِيْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ، فَتَكُوْنُ قَتِيْلَ سُلْطَانِ اللهِ؟

“Barangsiapa hendak menasehati pemilik kekuasaan maka janganlah menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi menuntun tangannya dan bersepi-sepi (berduaan) dengannya. Jika ia menerimanya maka itulah (yang kita harapkan), dan jika tidak maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.”
“Sungguh  Engkau lancang wahai Hisyam, saat kamu berani kepada sultan Allah, tidakkah kamu takut dibunuh sultan sehingga kamu menjadi orang yang dibunuh oleh sultan Allah?!” (HR. Ahmad, Hakim, Ibn Abi Ashim, Thabrani. Hadits hasan. Lihat Majma’ Zawaid: 9101))
  1. 2.           Usamah ibn Yazid d  
Dikatakan kepada Usamah d, “Mengapa engkau tidak menemui Usman untuk menanyakan apa yang ia perbuat?” Maka Usamah berkata:

أَتَرَوْنَ أَنِّيْ لاَ أُكَلِّمُهُ إِلاَّ أُسْمِعُكُمْ؟! وَاللهِ، لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيْمَا بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ مَا دُوْنَ أَنْ أَفْتَحَ أَمْرًا لاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ.

“Apakah menurut kalian, aku tidak berbicara dengannya kecuali aku perdengarkan kepada kalian?! Demi Allah aku sudah berbicara dengannya secara berdua-duaan. Aku tidak ingin membuka satu perkara yang aku tidak suka menjadi orang yang pertama kali membukanya.”
Ini redaksi Muslim, sedangkan redaksi Bukhari:

إِنِّيْ أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ دُوْنَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا لاَ أَكُوْنَ أوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ.

“Aku berbicara dengannya secara rahasia, tanpa saya buka pintu, jangan sampai aku menjadi orang pertama kali yang membukanya.”
Qadhi Iyadh j berkata, “Maksud Usamah, ia tidak ingin membuka pintu terang-terangan dalam mengingkari imam, karena ditakutkan akibatnya, akan tetapi  berlemah lembut dengannya, menasehatinya secara rahasia, yang demikian itu lebih bisa diharap untuk diterima.”
 3. Abdullah ibn Abi Awfa
Said ibn Jamhan berkata, ‘Saya mendatangi Abdullah ibn Abi Awfa, sedangkan beliau tidak bisa lagi melihat, lalu aku mengucapkan salam kepadanya. Ia berkata kepadaku: “Siapa engkau?” Saya jawab: “Saya Said Ibn Jamhan.” Dia bertanya: “Apa yang dilakukan ayahmu?” Saya jawab: “Dibunuh oleh kelompok Azariqah.” Ia berkata:

لَعَنَ اللهُ الْأَزَارِقَةَ، لَعَنَ اللهُ الْأَزَارِقَةَ، حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ r أَنَّهُمْ كِلاَبُ النَّارِ

“Semoga Allah melaknat Azariqah, semoga Allah melaknat Azariqah. Rasulullah r menceritakan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka.”
Saya bertanya: “Kelompok Azariqah saja atau seluruh khawarij?” Dia menjawab: “Ya, khawarij semuanya.” Saya katakan: “Sesungguhnya sultan menzhalimi manusia dan melakukan (tindakan semena-mena) terhadap mereka?” Maka ia mengambil tangan saya dan menariknya dengan keras kemudian berkata:

وَيْحَكَ يَا ابْنَ جَمْهَانَ! عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَائْتِهِ فِيْ بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلاَّ فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ.

“Celaka kamu hai ibnu Jamhan! Kamu harus mengikut kelompok yang terbesar (3 kali). Jika sultan mendengar darimu maka datangilah ia di rumahnya, lalu kabarkanlah apa yang kamu ketahui. Jika ia menerima darimu, jika tidak maka tinggalkanlah, karena kamu tidaklah lebih alim daripadanya.” (HR. Ahmad: dengan sanad hasan)
  1. 4. Abdullah ibn Mas’ud t

إِذَا أَتَيْتَ الْأَمْيْرَ الْمُؤَمَّرَ فَلاَ تَأْتِهِ عَلىَ رُؤُوْسِ النَّاسِ.

“Jika engkau mendatangi amir yang diberi mandat maka janganlah engkau mendatanginya di hadapan manusia.”
  1. 5. Umar ibnul Khattab t
Seseorang bertanya kepada Umar ibnul Khatthab:

أَنْ لاَ أَخَافُ فِيْ اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ خَيْرٌ لِيْ أَمْ أَقْبَلُ عَلىَ نَفْسِيْ؟

“Apakah kalau saya tidak takut cemoohan orang yang mencemooh itu lebih baik bagi saya ataukah saya peduli dengan diri saya saja?”
Maka ia berkata:

أَمَّا مَنْ وَليَّ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا فَلاَ يَخَافُ فِيْ اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ، وَمَنْ كَانَ خَلْوًا فَلْيَقْبَلْ عَلىَ نَفْسِهِ، وَلْيَنْصَحْ لِوَليِّ أَمْرِهِ)

“Adapun orang yang mengurusi urusan kaum muslimin maka tidak boleh di jalan Allah ia takut kepada cemoohan orang yang mencemooh. Barangsiapa kosong (dari jabatan) maka hendaklah memperhatikan dirinya sendiri dan bersikap tulus kepada ulil amr.” (HR Said ibn Manshur dan Abdur Razzaq dengan sanad shahih)
 Ibnu Abbas d
Abu Hamzah berkata:

لمَاَّ بَلَغَنْيِ تَحْرِيْقُ الْبَيْتِ خَرَجْتُ إِلىَ مَكَّةَ، وَاخْتَلَفْتُ إِلىَ ابْنِ عَبَّاسٍ حَتَّى عَرَفَنِيْ، وَاسْتَأْنَسَ بِيْ، فَسَبَبْتُ الْحَجَّاجَ عِنْدَ ابْنِ عبَّاسٍ، فَقَالَ : (لاَ تَكُنْ عَوْنًا لِلشَّيْطَانِ)

“Ketika saya mendengar berita terbakarnya al-bait (Ka’bah) saya keluar menuju Makkah. Saya pergi menuju Ibnu Abbas hingga ia mengenaliku dan terhibur denganku. Lalu saya mencaci Hajjaj di sisi Ibn Abbas, maka Ia berkata: Janganlah engkau menjadi penolong setan.” (HR Bukhari dalam tarikhnya).
Thawus berkata: Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas bertanya:

أَلاَ أُقَدِّمُ عَلىَ هَذَا السُّلْطَانِ فَآمُرُهُ وَأَنْهَاهُ؟

“Tidakkah saya menghadap sang sultan lalu saya memerintahkannya dan melarang?” Ibnu Abbas d berkata:

لاَ، يَكُوْنُ لَكَ فِتْنَةٌ

“Tidak, nanti akan terjadi fitnah padamu.” (HR. Abdurrazzaq, ibnu Abi Syaibah, baihaqi dengan sanad shahih).
Said ibn Jubair t berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Abbas d:

آمُرُ السُّلْطَانَ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَنْهَاهُ عَنِ الْمُنْكَرِ؟

“Apakah saya memerintah sultan dengan yang makruf dan melarangnya dari yang mungkar?” Ia menjawab:

إِنْ خِفْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَلاَ

“Jika engkau takut ia akan membunuhmu maka tidak.”
Kemudian saya ulangi yang ke-3 kali, ia menjawab sama, kemudian berkata:

إِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَفِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ.

“Jika kamu harus melakukannya maka lakukan antara engkau dan dia.”
 7.  Abu Bakrah
Ziyad ibn Kusaib berkata: saya bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibn Amir yang sedang berkhotbah, sementara ia memakai pakaian tipis, maka Abu Bilal berkata:

انْظُرُوا أَمِيْرَنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ

“Lihatlah amir kita itu memakai pakaian orang-orang fasik.” Maka Abu Bakrah berkata: “Diam kamu, saya mendengar Rasulullah r bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ الله في الأَرْضِ أَهَانَهُ الله

“Barangsiapa menghina sultan Allah di bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Tirmidzi, al-Thayalisi, Baihaqi, Ahmad, Ibn Abi Ashim. Hasan lighairihi).
  1. 8. Abu Darda` t
Suatu hari Abu Darda` t berdiri di depan pintu Muawiyah, lalu ia dihalangi (masuk) karena Muawiyah punya kesibukan, maka seolah-olah Abu Darda` merasakan rasa tidak enak dalam dirinya, maka ia berkata:

وَإِنَّ أَوَّلَ نِفَاقِ الْمَرْءِ طَعْنُهُ عَلىَ إِمَامِهِ

“Sesungguhnya kemunafikan seseorang pertama kali adalah celaannya terhadap imamnya.” (HR. Ibn Abdil Bar dalam at-Tamhid, dan Ibn Asakir)
  1. 9. Amr al-Bakali
Amr al-Bakali berkata:

إِذَا كَانَ عَلَيْكَ أَمِيْرٌ فَأَمَرَكَ بِإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ فَقَدْ حَلَّ لَكَ أَنْ تُصَلِّيَ خَلْفَهُ، وَحَرُمَ عَلَيْكَ سَبُّهُ

“Apabila kamu dipimpin seorang amir lalu ia memerintahkanmu untuk menegakkan shalat dan membayar zakat maka engkau halal shalat di belakangnya dan haram mencacinya.” (Diriwayatkan Ibnu Zanjawaih dalam kitab al-Amwal dengan sanad shahih).
Adapun jika sultan itu fasik (banyak maksiat), fajir (bejat), zhalim dan jair (curang) maka ia tidak memiliki kehormatan, akan tetapi juga dilarang untuk dicaci maki karena takut amarah dan kejahatannya yang tidak hanya menimpa pelaku cacian melainkan akan menimpa orang lain yang tidak berdosa.
Oleh karena itu salaf shalih melarang mencaci Hajjaj ibn Yusuf, meskipun mereka membencinya dan meragukan keimanannya, bahkan sebagian mereka telah mengkafirkannya. Ini mirip dengan larangan mencaci setan karena dikhawatirkan gangguan dan kejahatannya, bukan karena kehormatan dan kemuliannya.
Sesungguhnya, haramnya mencaci sultan fajir sama dengan larangan mencaci setan, yaitu untuk menolak kejahatannya, bukan karena kehormatannya, tetapi karena setan tidak memiliki kehormatan. Begitu pula sultan zhalim, tidak memiliki kehormatan. Lebih dari seorang salaf mengatakan:

لاَ غِيْبَةَ لِفَاسِقٍ

“Tidak ada ghibah bagi orang fasik.” Ini diriwayatkan oleh Ibn Abi dunya dalam kitab as-Shamt dari Ibrahim abn-Nakha’i.
Namun dilarang mencacinya untuk tidak membangkitkan kejahatannya terhadap Umat Islam dan dakwah. Atau supaya tidak keluar kesombongannya, sehingga malah menjadi-jadi. [*]
(nahimunkar.com)

0 Comments:

Post a Comment