07 November 2015

Waspada Terhadap Ketergelinciran Ulama

Belum lama ini tersebar di tengah kaum muslimin pernyataan kontroversi dari seorang da’i terkait fenomena jihad Syria, di antara poin pernyataannya yang pertama, Bashar Assad adalah pemimpin zalim yang masih layak untuk ditaati berdasarkan kaidah “pemimpin zalim lebih baik daripada merebaknya fitnah”. Kedua, Jihad Syria adalah fitnah (tidak jelas mana kawan mana lawan).

Setidaknya dua poin inilah yang boleh mewakili pernyataan beliau, maka tidak hairan jika dengan pernyataan yang beliau sampaikan menimbulkan kegelisahan pada hati kaum Muslimin. Sebab, sejak ...lagi KIBLAT.NET
dimulainya revolusi Suriah kaum Muslimin Indonesia telah disadarkan bahwa Bashar Assad tidak termasuk kategori pemimpin kaum muslimin ataupun imam zalim sekali pun, dan bahawa apa yang sedang terjadi di sana bukanlah fitnah, namun merupakan pertarungan antara haq dan kebatilan.

Dalam tulisan ini kita tidak akan membahas sosok da’inya, karena beliau bukanlah orang pertama yang kerap melontarkan pernyataan seperti ini. Dalam hal ini, beliau hanya sebagai sampel yang mewakili para du’at yang kerap melontarkan hal yang semisal.

Begitu halnya tulisan ini pun tidak akan membahas atau menanggapi kedua poin di atas, sebab bagi para pemula (dalam menuntut ilmu) sekalipun, sangatlah mudah untuk menilai dua poin di atas jika bersandarkan dengan kaidah, yaitu; fahmun nash (pemahaman dalil) dan fahmul waqi’ (pemahaman terhadap realitas).

Sehingga dari sini kami menyimpulkan bahwa jika hal ini dilontarkan oleh seorang da’i atau seorang yang alim siapapun dia, maka sungguh hal ini disebut dengna zillatul ‘alim (ketergelinciran seorang alim). Hal ini pula termasuk di antara perkara yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat:

إِنِّي أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي مِنْ بَعْدِي مِنْ أَعْمَالٍ ثَلاثَةٍ قَالُوا: مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: زَلَّةُ الْعَالِمِ، أَوْ حُكْمٌ جَائِرٌ، أَوْ هَوًى مُتَّبَعٌ

“Sungguh yang aku khawatirkan atas umatku sepeninggalku adalah tiga hal, mereka bertanya: “Apa saja perkara itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Ketergelinciran seorang alim, hukum yang lalim, dan hawa nafsu yang dituruti.” (HR. Thabrani)

Selain itu para ulama salaf pun telah mewanti-wanti terhadap perkara ini, di antaranya adalah yang diungkapkan oleh sahabat Umar bin Khattab RA:

يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ ثَلَاثَةٌ : زَلَّةُ عَالِمٍ ، وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ ، وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ

Tiga perkara yang menghancurkan Islam; tergelincirnya seorang alim, debatnya orang munafik tentang Al-Qur’an dan para pemimpin yang menyesatkan.” (Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya’; 4/196)

Bersikap dengan baik terhadap ketergelinciran ulama merupakan hal ditekankan Rasulullah SAW dan para ulama salaf, sebab jika tidak disikapi dengan benar hal ini akan menimbulkan perkara yang buruk, baik bagi si alim atau bagi orang yang mengikutinya. Maka penting bagi setiap da’i dan alim dan para pencari ilmu untuk memperhatikan hal ini.

Bagi setiap du’at dan ulama yang perlu diperhatikan adalah mengetahui sebab-sebab ketergelinciran dalam berfatwa atau berpendapat, di antara sebab-sebabnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy-Syatibi bahwa sebab yang melatarbelakangi tergelincirnya seorang alim ada dua hal. Pertama, ketidaktahuannya terhadap sebagian dalil, sehingga menyimpulkan sesuatu yang bukan menjadi maksudnya. Kedua, tidak membahas tema secara menyeluruh. (Imam Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat: 132)

Setidaknya dua sebab di atas yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin menyimpulkan suatu hukum atau melontarkan pendapatnya.

Syaikh Musthafa Al-Adawi memperjelas poin pertama dengan menyebutkan kaidah, ‘Jam’ul Adillah Al-Waridah fil Mas’alah’ (mengumpulkan dalil-dalil yang berkaitan dalam satu masalah). (Musthafa Al Adawi, Mafatihul Fiqh: 24)

Pentingnya mengumpulkan dalil-dalil yang berkaitan dalam suatu masalah akan diharapkan dengan itu seorang ‘alim tidak pincang dalam berargumen hingga terkesan mengambil satu dalil dan menafikan dalil lain.

Adapun poin kedua hendaknya seorang ‘alim membahas suatu masalah secara tuntas dan komprehensif, setidaknya terdapat dua kaidah pula dalam masalah ini yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim ketika seorang alim ingin membahas masalah secara komprehensif hendaknya memperhatikan dua hal; pertama, memahami realita dan mengilmuinya.
Kedua, Berlandaskan pemahaman wajib, yaitu hendaknya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian mengunakan keduanya secara baik. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqiin, 1/87)

Jika setiap alim atau da’i memperhatikan dua perkara urgen ini sebelum ia berpendapat atau berfatwa maka potensi ketergelincirannya akan lebih kecil. Hal ini pula yang harus diikuti oleh setiap muslim yang ingin mengikuti manhaj salaf jika ingin pandai dalam memandang realita yang ada yang semakin rumit dan membutuhkan sandaran yang kuat. Sebab, jika tidak yang terjadi adalah bersikap kaku dalam memahami nash tanpa pandai dalam memandang realita atau sebaliknya terlalu berani dalam mensikapi realita sehingga melanggar batasan batasan dalil syar’i. Hal ini sesuai dengan slogan yang disebutkan oleh Dr. Shalah Ash-Shawi, yaitu Salafiyatul Manhaj wa ‘Ashriyatul Muwajahah (berpedoman dengan manhaj salaf dan bijak dalam memandang realita yang ada).

Ketergelinciran Alim

Adapun terhadap para penuntut ilmu perkara pertama yang harus ia perhatikan adalah bagaimana cara mengetahui ketergelinciran seorang alim?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Mu’adz bin Jabbal ditanya, “Bagaimana kita mengetahui ketergelincirian seorang alim?” Beliau menjawab, “Apa yang engkau nilai rancu dari perkataan seorang alim, atau apa yang tidak sesuai dengan hati kaum muslimin dan mereka tidak dapat mengerti.”

Begitu pula Salman Al-Farisi ditanya, “Bagaimana engkau mengetahui ketergelinciran seorang alim?” Ia berkata, “Sesungguhnya kebenaran adalah cahaya yang dapat diketahui.” (Ibnu Rajab Al Hambali, Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 342 dan Imam Ath Thabari, Tahzhib al Atsar, hal. 254)

Perkara lain yang perlu diperhatikan adalah bersikap adil terhadap perkataan seorang alim, tidak boleh berlebih-lebihan. Ketika seorang penuntut ilmu mendapati kekeliruan pada gurunya maka ia harus menyadari kekeliruan bisa terjadi pada siapa saja, lalu ia meningalkan pendapat gurunya, sebab perkataan siapapun dapat diterima dan ditolak kecuali perkataan Rasulullah SAW. Sebagaimana ungkapan Mujahid, Imam Malik dan lainnya:

 ليس أحد من خلق الله إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak ada seorangpun setelah Nabi SAW, kecuali perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali Nabi SAW.“ (Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz II, hal. 111-112).

Ketika seorang muslim tetap mengikuti suatu pendapat yang jelas-jelas salah dan bertentangan dengan kebenaran, maka sungguh ia sedang berada kecelakaan. Ibnu Abbas RA berkata:

ويل للأتباع من عثرات العالم ، قيل : كيف ذلك ؟ قال : يقول العالم شيئا برأيه ، ثم يجد من هو أعلم برسول الله صلى الله عليه وسلم منه; فيترك قوله ثم يمضي الأتباع

“Kecelakaan bagi para pembeo terhadap kesalahan orang yg berilmu. Beliau ditanya; bagaimana itu terjadi? Dia menjawab; “Orang berilmu tersebut mengeluarkan statemen dengan pendapatnya (yang salah) kemudian ia mendapati orang yang lebih faham (lebih benar) apa yang datang dari Nabi yang menyelisihinya. Namun ia mengacuhkan pendapat orang itu dan tetap mengikuti pendapat yang salah.” (Khatib al Baghdadi, al Faqih wal Mutafaqih; 2/213).

Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memandang kebenaran dan kesalahan berdasarkan mizan (timbangan) syar’i, sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebenaran namun melalui jalan yang salah. Wallahu ‘alam.
Oleh: Zaid Royani, S.Pd.I (Da’i Majelis Dakwah Islam Indonesia)

0 Comments:

Post a Comment