13 Oktober 2015

Menikah dengan Ahlul Kitab, Bolehkah?

Oleh: Ahmad Hifdzil Haq

MARAKNYA perkawinan beda agama di Asia Selatan menjadi tentangan kalangan Kristian Katolik. Belum lama ini, para pemimpin gereja membahas meningkatnya perkawinan beda agama antara pemeluk Katolik dan non Katolik di Asia.

Diskusi yang diadakan sebagai menyambut Sidang Umum Biasa Ke-14 dari Sinode Para Uskup akan berlangsung pada 04-25 Oktober di Vatikan ini ini sempat dimuat di media Kristian, UCAnews, Jumat (02/10/2015). [Baca: Gereja Menilai Perkawinan Katolik dengan Non Katolik tak Sah]

Kenaikan tren menikah beda agama ini rupanya menjadi tentangan utama Gereja Katolik. Sebab di kalangan gereja sendiri menganggap perkawinan Katolik dengan non-Katolik tidak sah di mata Gereja.

Menikah adalah sesuatu fitrah setiap manusia, kerana memang manusia memiliki kecenderungan terhadap setiap lawan jenisnya. Ia merupakan jalan mencapai kebahagian hidup yang dengannya dua insan dapat saling merajut cinta serta berbagi kasih, setiap agamapun melegitimasi penganutnya untuk melakukan pernikahan.

Sama Visi...lagi


Sebuah pernikahan terbangun atas dasar keserasian dan kecocokan antara dua insan. Kesamaan visi dan misi merupakan suatu yang diharapkan demi tercapainya keharmonisan dalam rumah tangga pasca pernikahan, tak heran dalam pernikahan pasangan memilih calon istri atau suami yang sederajat dan seimbang dalam beberapa hal mengenai tujuan, pekerjaan, agama, pendidikan, keturunan dan lain sebagainya.

Sebaliknya, suatu “perbedaan” terkadang menimbulkan perpecahan. Maka, anjuran agama dalam menikah yaitu pada sesama agama.

Anjuran tersebut kemudian memicu pertanyaan dalam sebuah diskusi, muncul pertanyaan rumit namun menggelitik. Rumit melihat perkara tersebut jarang dibahas dan ditemukan dalam literatur kekinian yang kemudian menjadikannya sukar dijawab, menggelitik karena persoalan ini kerap muncul sehingga menuai penasaran mendalam bagi peserta diskusi. Dalam Islam diperbolehkan menikah pada Non Muslim, yaitu Musyrikat dari Ahlul Kitab. Siapa golongan yang dimaksud Ahlu Kitab tersebut.

Setiap agama memiliki kitab suci yang berbeda antara satu dan lainnya. Islam memiliki kitab suci al-Qur’an, Hindu Veda, Budha Tripitaka, Kristen Injil dan Khonghuchu Wu Ching.

Dari semua kitab tersebut di dalamnya tertuliskan ajaran-ajaran bagi penganutnya. Hindu, Budha, Kristen dan Khonghuchu yang taat bisa jadi disebut Ahlul Kitab dengan dalih memiliki kitab suci, tutur salah seorang peserta diskusi.

Pemeluk agama yang benar ialah saat ia taat beragama. Taat dalam arti menjalankan ajaran dengan baik dan sesuai tuntunan agama, tidak melanggar aturan agama serta melakukan segala perintah dalam agama dengan baik dan benar sebagaimana dijelaskan dalam tulisan pada kitab sucinya.

Jadi, jika seseorang (Non Muslim) itu sudah beragama sesuai pada pedoman agama yang tertulis dalam Kitab masing-masing, ia bisa disebut juga dengan Ahlul Kitab, yang kemudian boleh menikah dengan Muslim mengingat dalam Islam terdapat syariat yang memberbolehkannya, tambahnya.*

Konsep Ahlu Kitab

Menurut Arkoun Ahlul Kitab dari segi bahasa (etimologi) mengandung makna sebagai sebuah komunnitas yang tercerahkan oleh pengetahuan (‘Ilm) dari kitab. Sedangkan bagi komunitas yang tidak tersentuh oleh sebuah ‘Ilm mereka dinamakan sebagai ‘ummiyun atau jahiliyya (orang-orang yang bodoh).

Dalam konteks ini ornag-orang Quraish selalu diasosiasikan sebagai ‘ummiyun atau jahiliyya (orang-orang yang bodoh), sebab mereka mengandung sistem paganisme dan tiidak pernah bersentuhan dengan apa yang dinamakan ‘Ilm. Jika teks Ahlul Kitab milik sebuah komunitas saja (Yahudi dan Nasrani), kenapa maknanya tidak diperluas ? Padahal pemaknaan terhadap komunitas ‘Ilm sangat ditentukan oleh Historisitas dan takrif teks tersebut. Jadi kesimpulannya, siapapun jika komunitas tersebut memiliki kitab dan tercerahkan oleh ‘Ilm-nya, maka ia berhak menyandang sebagai Ahli Kitab.

Muhammad Ibn Idris al-Shafi’i membatasi Ahlul Kitab hanya kepada keturunan Israel (Bani Israel), yaitu Yahudi dan Nasrani yang mempunyai garis keturunan Israel. Sebaliknya, masyarakat yang bukan suku bangsa ini, tidak dikategorikan sebagai Ahlul Kitab, walaupun mereka memiliki keimanan yang sama dengan Yahudi dan Kristen. Ia membatasi bahwa Ahlul Kitab hanya pada Yahudi dan Nasrani karena hanya merekalah yang berasal dari keturunan Israel, dengan Nabi mereka (Nabi Musa As dan Nabi Isa As) yang hanya diutus kepada mereka dan bukan kepada kaum lain (QS. Al-An’am 156).

Muhammad ‘Abduh Khayruddin menambahkan bahwa golongan Sabian (Umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang mengetahui adanya Tuhan yang Maha Esa) termasuk dalam kategori Ahlul Kitab dengan dasar bahwa mereka disebut bersama-sama dengan Yahudi dan Nasrani dalam QS. Al-Baqorah. 62 dan al-Hajj. 17 (Pluralisme Agama, INSISTS)

Yahudi dan Nashrani yang menjaga kemurnian kitab sucinya serta menjalankan sepenuh hati ajaran dan pesan-pesan nabinya, mempercayai sepenuh hati kepada nabinya termasuk perintah untuk mengikuti nabi akhhir zaman Muhammad Saw, benar-benar mengimplikasikan ajaran murni kitab suci mereka merekalah yang disebut Ahlul Kitab. (dalam Islam dan Pluralisme agama, Zahrul Fata).

Kiranya sangat masuk akal, baik ditinjau dari mereka yang diberi lembaran suci (shuhuf) Nabi Ibrahim dan Shith (Zabur) dari Nabi Daud digolongkan sebagai Ahlu Kitab. Tetapi posisi mereka tidaklah sepenting orang Yahudi dan Nasrani, dikarenakan kitab suci mereka (Shuhuf dan Zabur) hanya berisikan nasehat-nasehat keagamaan (mawa’iz wa mazajir) dan petuah-petuah keteladanan (rumuz wa amthal) sedangkan Taurat dan Injil berisikan hukum undang-undang (syari’ah), yang harus dilaksanakan oleh Yahudi dan Nasrani.

Adapun yang mengimani agama Yahudi dan Nasrani: sebelum terjadi penyelewengan, walaupun sangat rasional memandang mereka sebagai Ahlu Kitab mengingat mereka mengimani ajaran-ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa, sebagai kedudukan mereka tidaklah begitu penting karena mungkin jumlah mereka yang kecil dan tidak disebut dalam al-Qur’an atau Hadits.

Beberapa cendikiawan telah melakukan riset mendalam tentang agama Hindu. Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni, Ibn Hazm dan al-Shahrastani memandang bahwa agama Hindu adalah orang-orang yang mempercayai adanya Tuhan (deist). Ibn Hazm sebenarnya menganggap agama Hindu, khususnya Brahman, sebagai golongan yang mempercayai Tuhan dan mengkategorikannya sebagai tradisi-tradisi keagamaan India dan Timur sebagai bentuk penyelewengan dari agama Sabian.

Demikian juga al-Shahrastani, berpandangan Hindu agama yang mempunyai kitab suci dan hukum yang tetap. Namun mereka tidak pernah menyatakan bahwa penganut agama ini sebagai Ahlu Kitab.
Agama Sikh, didirikan oleh Guru Nanak, adalah agama-budaya yanng maju dengan kombinasi antara teologi Islam dan Hindu. Begitu juga dengan agama-agama Taoisme, Khong huchu adalah agama yang tersusun dengan keyakinan dan ritual yang campuran. Islam menganggap agama-agama Timur ini jelas sebagai politeisme, seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an (QS. An-Nisa. 48, al-Maidah. 72 dan al-Kahfi. 110).

Bagaimanapun, menjadi agak janggal jika kita mengasumsikan bahwa setiap masyarakat yang mempunyai agama dan kitab suci seperti Hindu, Budha, Sikh, Taoisme dan Kong Huchu sebagai Ahlul Kitab.

Walaupun mereka mengklaim beragama dan menerima kitab suci, tetapi itu tidak berarti bahwa mereka menganut “agama samawi” dan kemudian dikategorikan sebagai Ahlu Kitab.

Pada era ini Ahlul Kitab banyak diartikulasikan menyimpang. Menganggap pemeluk agama selain Islam sama dengan Ahlu Kitab, sehingga mengasumsikan bahwa menikah dengan Muslim diperbolehkan, padahal, itu merupakan dekonstruksi kaum pluralis terhadap konsep Ahlul Kitab yang kemudian bermuara pada diperbolehkan menikah lintas agama. Wallahu ‘alam.*

Penulis peserta PKU angkatan IX/ http://www.hidayatullah.com

0 Comments:

Post a Comment