06 Januari 2021

Membina masjid KECIL dalam rumah


Soalan
Bolehkah kita membina masjid kecil di dalam rumah dan kita beriktikaf di dalamnya?

Jawapan Ulama'

Asy-Syaikh Qalyubi (w. 1069 H) mengatakan:

إنْ بُنِيَ فِيهَا دَكَّةٌ وَوُقِفَتْ مَسْجِدًا صَحَّ فِيهَا. وَكَذَا مَنْقُولٌ أَثْبَتَهُ وَوَقَفَهُ مَسْجِدًا ثُمَّ نَزَعَهُ

“Jika seseorang membangun semacam panggung kecil kemudian mewakafkannya sebagai masjid, maka sah. Begitu pula jika ia membuat sebuah alas sebagai alas permanen di sebuah tempat kemudian ia wakafkan sebagai masjid, meskipun nantinya ia bongkar.” (Qalyubi, Hasyiyah ‘ala Kanz Ar-Raghibin (II/97). Beirut: Darul Fikr, 1995 M)

Poin ini lebih jelas lagi dalam fatwa Asy-Syaikh Ali Az-Ziyadi (w. 1024 H) sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh ‘Abdullah Asy-Syarqawi (w. 1227 H):

إِذَا سَمَّرَ حَصِيرًا أَوْ فَرْوَةً فِي أَرْضٍ أَوْ مَسْطَبَةٍ وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ ذَلِكَ وَجَرَى عَلَيْهِمَا أَحْكَامُ الْمَسَاجِدِ وَيَصِحُّ الِاعْتِكَافُ فِيهِمَا وَيَحْرُمُ 

عَلَى الْجُنُبِ الْمُكْثُ فِيهِمَا وَغَيْرُ ذَلِكَ

“Jika seseorang meletakkan permaidani, alas kulit, atau sajadah lalu memakunya di dalam rumah miliknya (yang telah ia beli atau sewa), atau ia membuat panggung kecil atau tempat semisalnya dari kayu, kemudian ia mewakafkannya sebagai masjid, maka sahlah yang demikian itu. Dengan demikian, berlaku padanya hukum-hukum masjid sehingga sah pula beritikaf di sana dan haram pula orang yang berhadas besar untuk menetap di situ.” (Asy-Syarqawi, Hasyiyah ‘ala Tuhfah Ath-Thullab (II/370-371). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1997 M)


Fatwa ini juga dinukil dan disetujui oleh para ulama Syafi’iyyah setelahnya, semisal Asy-Syaikh ‘Abdulhamid Asy-Syarawani (w. 1301 H)[2] dan Asy-Syaikh ‘Ali Bashabrin (w. 1305 H)[3].

Hal yang menjadi catatan di sini adalah karpet atau panggung kecil yang ditaruh dirumah haruslah diwaqafkan sebagai masjid. Dengan mewaqafkannya sebagai masjid barulah hukumnya berubah menjadi masjid sehingga boleh i’tikaf di atasnya.

Nah, selama karpet atau panggung kecil tadi masing terpasang kukoh di sudut rumah kita, bahkan meski rumah sewa, maka hukumnya adalah masjid. Jika sudah dibongkar, maka pendapat yang terkuat di internal Mazhab Syafi’i, ialah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam salah satu fatwa beliau, bahawa sudah tidak lagi berlaku hukum masjid padanya[4]. Ini juga yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Sa’id Ba’asyin (w. 1270 H)[5].BACA SEMUANYA.

Dari sini muncul pertanyaan, bolehkah mewaqafkan benda yang bergerak (tidak tetap) seperti sajadah untuk dijadiakan masjid? Bukankah Al-Imam Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H) dan Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), kedua syaikh Syafi’iyyah mutaakhkhirin, seolah menyatakan tidak sahnya mewakafkan sesuatu yang bergerak, tidak tetap, semisal yang disebutkan di atas, sebagai masjid?

Al-Imam Syamsuddin Ar-Ramli mengatakan:

أَمَّا جَعْلُ الْمَنْقُولِ مَسْجِدًا كَفُرُشٍ وَثِيَابٍ فَمَوْضِعُ تَوَقُّفٍ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ السَّلَفِ مِثْلُهُ، وَكُتُبُ الْأَصْحَابِ سَاكِتَةٌ عَنْ تَنْصِيصٍ بِجَوَازٍ أَوْ مَنْعٍ، وَإِنْ فُهِمَ مِنْ إطْلَاقِهِمْ الْجَوَازُ فَالْأَحْوَطُ الْمَنْعُ


“Adapun mewakafkan benda bergerak, semisal karpet dan baju, sebagai masjid, maka saya bertawaqquf (tidak mengemukakan pendapat) dalam hal ini. Sebab hal ini belum pernah diriwayatkan dari generasi Salaf. Kitab-kitab ulama Syafi’iyyah pun tidak menyinggung hal ini secara eksplisit, baik pembolehan maupun pelarangan. Meskipun terpahami dari ucapan-ucapan mereka bahawa hukumnya boleh, tetapi yang lebih hati-hati adalah melarangnya.” (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj (V/362-363). Beirut: Darul Fikr, 1984 M)

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami juga mengatakan:

لَا يَصِحُّ وَقْفُهُ مَسْجِدًا لِأَنَّ شَرْطَهُ الثَّبَاتُ

Ertinya, “Tidak sah mewakafkannya (benda bergerak) sebagai masjid karena disyaratkan harus tetap, tak bergerak.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj (VI/238). Kairo: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra, 1938 M)

Benar demikian, tetapi para ulama Syafi’iyyah setelah mereka berdua menjelaskan bahawa tidak sahnya mewakafkan benda bergerak sebagai masjid itu hanyalah jika tidak dibuat tetap, tak bergerak. Adapun jika dibuat tak bergerak seperti dipaku atau dilakban, maka sah[6]. Ini juga terisyaratkan dari alasan yang dikemukakan Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami barusan. Ini juga yang menjadi fatwa Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (w. 926)[7].

Kesimpulannya, di tengah lockdown ini, mari tetap beritikaf meski di masjid kecil di rumah kita dengan cara yang disebutkan di atas. Kalau boleh saran, jika pakai sajadah, maka pilih yang lebar agar lebih leluasa.

Ini adalah salah satu solusi fikih bagi mereka yang ingin menjalankan i’tikaf, adapun mereka yang kurang sregh dengan solusi ini dengan tetap berkeyakinan i’tikaf tidak sah kecuali di masjid maka silahkan maksimalkan ibadah di sepuluh akhir bulan Ramadhan semoga Allah dengan rahmat-Nya memberikan pahala i’tikaf selama niat kita jujur kepada Allah.

Hal yang perlu menjadi catatan bahwa hukum asal i’tikaf adalah di masjid, sehingga jika kondisi sudah normal, masjid-masjid kembali dibuka untuk ibadah, maka i’tikaf kembali dilakukan di masjid-masjid Allah. Wallahualam wahuwal muwaffiq.

Jeddah, 17 Ramadan 1441 H

Editor: Arju

 

[1] Lihat: Al-Bayjuri, Hasyiyah ‘ala Fath Al-Qarib (I/575). Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 1999 M dan Al-Bakri, Hasyiyah I’anah Ath-Thalibin (II/292). Beirut: Darul Fikr, 1997 M.

[2] Lihat: Asy-Syarawani, Hasyiyah ‘ala Tuhfah Al-Muhtaj (III/465). Kairo: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra, 1938 M

[3] Lihat: ‘Ali Bashabrin, Itsmid Al-‘Ainain hlm. 100. Beirut: Darul Fikr, 1994 M

[4] Lihat: Hasyiyah Ibn Qasim Al-‘Abbadi ‘ala Tuhfah Al-Muhtaj (VI/240). Kairo: Al-Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubra, 1938 M

[5] Sa’ad Ba’asyin, Busyra Al-Karim hlm. 628. Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2015 M

[6] Lihat: Asy-Syarawani, Hasyiyah ‘ala Tuhfah Al-Muhtaj (VI/238) dan Asy-Syibramalisi ‘ala Nihayah Al-Muhtaj (V/363). Beirut: Darul Fikr, 1984 M

[7] Lihat: Asy-Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayah Al-Muhtaj (III/216).


0 Comments:

Post a Comment