10 Ogos 2019

Ketahuilah 17 Hukum tentang ibadat Korban

Menyembelih haiwan korban merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Tentunya, dalam ibadah tidak boleh sembarangan menentukan sendiri tata caranya. Semua amal ibadah, khususnya Korban, harus sesuai panduan yang telah dibuat Syariat. Oleh kerana itu, supaya ibadah korban kita diterima, ada beberapa hal penting harus diketahui. Berikut poin-poinnya secara ringkas:

Pertama: Berkorban termasuk salah satu Syariat Allah dan hukumnya Sunnah Muakkad, menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan lainnya, dan wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan jika korban itu sudah dinazarkan maka seluruh ulama sepakat hukumnya wajib.

Kedua: Jika sudah masuk sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, para pengkorban dimakruhkan mencukur rambut dan memotong kuku. Namun jika kedua hal itu terlanjur dilakukan, tidak ada denda menurut kesepakatan ulama. Hikmah larangan cukur rambut dan potong kuku bagi pengkorban adalah untuk meniru orang yang sedang melaksanakan haji.

Catatan: Larangan ini khusus bagi orang yang berkurban. Wakil pengkurban dan keluarganya tidak masuk dalam hukum ini.

Ketiga: Saat menyembelih wajib membaca: “Bismillah Wallahu Akbar”. Dianjurkan menambah
bacaan: “Allahumma Haza Minka wa Laka”. Atau ditambah lagi: “Anni Wa Anman Lam Yadih min Ahli (dengan meniatkan untuk keluarga yang masih hidup dan sudah meninggal)”.

Keempat: Hewan kurban harus dari hewan ternak, yaitu: unta, sapi, domba dan kambing.

Kelima: Unta yang diboleh jadi hewan kurban harus minimal berumur lima tahun genap, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun dan domba berumur enam bulan genap.

Keenam: Ulama fiqih sepakat hewan kurban sah jika terhindar dari empat cacat, yaitu: buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, sakit dan tampak jelas sakitnya, pincang dan tampak jelas pincangnya, sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Catatan: Tidak mengapa jika cacatnya itu ringan, menurut pendapat jumhur ulama. Cacat ringan itu seperti tanduknya seperempat atau sepertiga tanduknya pecah, sobek sepertiga atau seperempat telinganya. Namun berkurban dengan hewan dengan cacat ringan ini hukumnya makruh. Adapun hewan cacat karena dikebiri boleh tanpa makruh.

Ketujuh: Jika pengurban mengetahui ada kecacatan di hewan kurbannya dengan mata sendiri maka wajib menggantinya. Namun, jika kecacatan itu diketahui oleh orang lain (dia tidak mengetahuinya berdasarkan pemeriksaannya) maka kurbannya sah.

Kedelapan: Waktu penyembelihan kurban dimulai selesai Salat Ied, meskipun di tempat itu tidak ada Salat Ied.

Kesembilan: Waktu terakhir penyembelihan hewan kurban, menurut pendapat Malikiyah, Hanafiyah dan Hanabilah, adalah terbenamnya Matahari di hari ketiga setelah Idul Adha. Sementara pendapat Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah berpendapat waktu terakhir penyembelihan saat tenggelamnya Matahari di hari keempat. Hukumnya makruh menyembelih hewan kurban pada malam hari.

Kesepuluh: Barang siapa yang terlewatkan waktu penyembelihan, jika kurbannya itu nadzar maka wajibnya baginya mengqadha’. Jika kurbannya sebagai amalan sunnah, boleh memilih antara menyembelih dengan cara qadha atau tidak.

Kesebelas: Daging kurban tidak boleh ditukar, baik dengan lebih sedikit atau sepadan dengannya. Adapun jika ditukar dengan yang lebih banyak maka dibolehkan.

Keduabelas: Sunnah Nabi menunjukkan pembagian daging kurban dibagi tiga: sepertiga untuk dimakan sendiri, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga sisanya untuk dishadaqahkan kepada orang-orang miskin.

Ketigabelas: Tidak boleh menjual apapun dari hewan kurban, walaupun hanya kulitnya. Namun boleh dimanfaatkan dan dihadiahkan kepada yang lain. Orang kafir dibolehkan diberi daging kurban.

Keempatbelas: Penjagal tidak boleh diberi upah dari daging kurban, meskipun hanya kulit atau lainnya. Namun, setelah dia dibayar dengan uang, sementara ia termasuk golongan fakir miskin, maka ia boleh diberi daging kurban.

Kelimabelas: Boleh meniatkan kurban satu kambing atau domba untuk keluarga. Tidak ada kurban kolektif dalam kambing dan domba. Kurban kelektif hanya pada unta dan sapi dengan jumlah maksimal tujuh pengkurban dalam satu hewan.

Keenambelas: Paling afdhal hewan kurban disembelih sendiri. Namun boleh diwakilkan kepada muslim lainnya. Tidak sah jika penyembelihan diwakilan kepada Ahli Kitab karena ini bentuk ketaatan.

Ketujuhbelas: Meniatkan kurban untuk mayit hukumnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya sunnah, Hanafiyah membolehkan, Malikiyah memakruhkan namun boleh dan Syafi’iyah membolehkan jika itu sudah nadzar atau wasiat. Namun jika hanya sebagai ibadah Sunnah maka tidak boleh.

Sumber: Fatwa Syaikh Abdurrazaq Al-Mahdi(kiblat.net)

0 Comments:

Post a Comment